Dukuh Macari Citra Masjid Pertama di Kota Batu
Penguasaan atas Pulau Jawa diserahkan kembali dari Inggris ke Belanda.
Perjuangan anti Belanda makin bermunculan. Meski masih berlangsung secara
sporadis. Oleh karenanya dapat dipatahkan dengan mudah oleh Belanda. Pangeran
Yogyakarta mengobarkan api perlawanan terhadap penjajah. Perang tidak dapat
dihindari, meskipun harus berakhir pada 1830. dengan cara licik Diponegoro
diringkus. Prajurit dan simpatisan Pangeran Yogyakarta itu diburu dan
dikejar-kejar Belanda.
Sementara perang berkecamuk, prajurit dan simpatisan Diponegoro menyebar
untuk mencari dukungan kepada tokoh-tokoh daerah lain yang sama-sama menolak
kehadiran kompeni. Beberapa ekpedisi dikirim ke berbagai wilayah. Salah satu
rombongan sampai di wilayah Batu (1828). Mereka berbaur dengan masyarakat
setempat. Di antaranya : Kyai Abu Ghonaim, Kyai Matsari (Zakaria), Mbah Bener,
Mbah Banter , Mbah Patok, dan sejumlah nama yang hingga sekarang makamnya
menjadi punden desa tersebar di Wilayah Batu.
Sekitar tiga bulan tinggal di Bumiaji, Abu Ghonaim wafat, dan dimakamkan di
Dusun Banaran. Sementara Kyai Matsari, dalam penggalangannya bermukim di daerah
Dukuh Macari Desa Sanggrahan (timur Balai Kota Batu sekarang). Kyai sempat
mendirikan masjid pertama di wilayah Batu , Masjid Al-Muhlisin namanya. Menurut
Ulul Azmi, satu
dari ribuan turunan Kyai Zakaria. Informasi tersebut diperoleh dari
Almarhum H. Moch. Luthfie Wal Aman Ayahandanya semasa hidup. Pada dinding mihrab Masjid Almuhlishin dahulu ada tulisan berangka tahun
1249 Hijriah (sekitar 1829-1830 Masehi).
Kyai Matsari atau selanjutnya dikenal sebagai Kyai Zakaria mempunyai 5
anak, perempuan semua. Hingga sekarang keturunan Kyai Zakaria masih terjaga
nasabnya. Sejumlah tokoh pejabat, agama, politisi, seniman dan penggerak
organisasi di Kota Batu sekarang ditengarai sebagai keturunan Kyai Zakaria.
Nama Kyai Matsari sendiri, menurut cerita tutur adalah sebutan yang diberikan
Belanda. Pemahamannya terhadap Islam menjadikannya sangat disegani. Daerah
tempat tinggal Kyai, dikenal juga sebagai Kampung Pesantren.
Kyai Matsari memiliki kebun kopi yang sangat luas. Terhampar di lereng
utara Gunung Kawi (Panderman). Banyak orang yang nyantri (bekerja sambil
mengaji) kepada Sang Kyai. Suatu saat, para santri memanen kopi. Padahal
menurut Belanda belum waktunya. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatan
santrinya, Sang Kyai rela dipenjarakan. Setiap kali masuk penjara, terjadilah
gempa dahsyat.
Anehnya, gempa tersebut hanya disekitar penjara yang sekarang menjadi
Kantor Polsek Batu. Bumi tak akan berhenti bergoyang hingga pensiunan prajurit
Diponegoro itu dikeluarkan dari penjara. Berdasar kejadian ini, Belanda memberi
julukan Kyai Amat Sari. Kyai yang sangat bertuah. Kyai Matsari.
Bukti fisik
kesejarahan Dusun Macari pada Masjid Al-Muhlisin, memang telah musnah karena
tidak pahaman akan arti sebuah peninggalan masa lampau. Kini tinggal sebuah
Blumbang (kolam air) ukuran 30 x 75 meter, seratus meter sebelah utara masjid.
Dulunya, kolam itu hanya sebuah pancuran
air. Satu lagi, saksi bisu adalah komplek pekuburan keluarga yang sekarang
sudah berbaur menjadi pemakaman umum yang sekarang masuk wilayah Kelurahan
Ngaglik. (jim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar