Sabtu, 30 Maret 2013

Suara Desa


Dukuh Macari Citra Masjid Pertama di Kota Batu

Penguasaan atas Pulau Jawa diserahkan kembali dari Inggris ke Belanda. Perjuangan anti Belanda makin bermunculan. Meski masih berlangsung secara sporadis. Oleh karenanya dapat dipatahkan dengan mudah oleh Belanda. Pangeran Yogyakarta mengobarkan api perlawanan terhadap penjajah. Perang tidak dapat dihindari, meskipun harus berakhir pada 1830. dengan cara licik Diponegoro diringkus. Prajurit dan simpatisan Pangeran Yogyakarta itu diburu dan dikejar-kejar Belanda.
Sementara perang berkecamuk, prajurit dan simpatisan Diponegoro menyebar untuk mencari dukungan kepada tokoh-tokoh daerah lain yang sama-sama menolak kehadiran kompeni. Beberapa ekpedisi dikirim ke berbagai wilayah. Salah satu rombongan sampai di wilayah Batu (1828). Mereka berbaur dengan masyarakat setempat. Di antaranya : Kyai Abu Ghonaim, Kyai Matsari (Zakaria), Mbah Bener, Mbah Banter , Mbah Patok, dan sejumlah nama yang hingga sekarang makamnya menjadi punden desa tersebar di Wilayah Batu.
Sekitar tiga bulan tinggal di Bumiaji, Abu Ghonaim wafat, dan dimakamkan di Dusun Banaran. Sementara Kyai Matsari, dalam penggalangannya bermukim di daerah Dukuh Macari Desa Sanggrahan (timur Balai Kota Batu sekarang). Kyai sempat mendirikan masjid pertama di wilayah Batu , Masjid Al-Muhlisin namanya. Menurut  Ulul Azmi, satu dari ribuan turunan Kyai Zakaria. Informasi tersebut diperoleh dari Almarhum  H. Moch. Luthfie Wal Aman Ayahandanya semasa hidup. Pada dinding mihrab Masjid Almuhlishin dahulu ada tulisan berangka tahun 1249 Hijriah (sekitar 1829-1830 Masehi).
Kyai Matsari atau selanjutnya dikenal sebagai Kyai Zakaria mempunyai 5 anak, perempuan semua. Hingga sekarang keturunan Kyai Zakaria masih terjaga nasabnya. Sejumlah tokoh pejabat, agama, politisi, seniman dan penggerak organisasi di Kota Batu sekarang ditengarai sebagai keturunan Kyai Zakaria. Nama Kyai Matsari sendiri, menurut cerita tutur adalah sebutan yang diberikan Belanda. Pemahamannya terhadap Islam menjadikannya sangat disegani. Daerah tempat tinggal Kyai, dikenal juga sebagai Kampung Pesantren.
Kyai Matsari memiliki kebun kopi yang sangat luas. Terhampar di lereng utara Gunung Kawi (Panderman). Banyak orang yang nyantri (bekerja sambil mengaji) kepada Sang Kyai. Suatu saat, para santri memanen kopi. Padahal menurut Belanda belum waktunya. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatan santrinya, Sang Kyai rela dipenjarakan. Setiap kali masuk penjara, terjadilah gempa dahsyat.
Anehnya, gempa tersebut hanya disekitar penjara yang sekarang menjadi Kantor Polsek Batu. Bumi tak akan berhenti bergoyang hingga pensiunan prajurit Diponegoro itu dikeluarkan dari penjara. Berdasar kejadian ini, Belanda memberi julukan Kyai Amat Sari. Kyai yang sangat bertuah. Kyai Matsari.
Bukti fisik kesejarahan Dusun Macari pada Masjid Al-Muhlisin, memang telah musnah karena tidak pahaman akan arti sebuah peninggalan masa lampau. Kini tinggal sebuah Blumbang (kolam air) ukuran 30 x 75 meter, seratus meter sebelah utara masjid. Dulunya, kolam itu  hanya sebuah pancuran air. Satu lagi, saksi bisu adalah komplek pekuburan keluarga yang sekarang sudah berbaur menjadi pemakaman umum yang sekarang masuk wilayah Kelurahan Ngaglik. (jim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar