Selasa, 09 April 2013

POS KETAN Legenda


POS KETAN LEGENDA 
LENGKETKAN KASIH SAYANG…..

Keberadaan POS KETAN LEGENDA - PKL 1967 sudah sangat familiar bagi Wong mBatu dan sekitarnya, baik yang masih berdomisili di Kota Wisata Batu, maupun yang sudah muar meninggalkan kota kelahirannya.  Tak kurang dari Kris Dayanti, Yuni Shara dan banyak tokoh Batu lainnya yang selalu menyempatkan diri datang ke Pos Ketan yang selalu inovatif menyajikan menu-menu barunya  saat mereka mudik.  PKL 1967 saat ini tidak saja dikenal oleh oleh tokoh-tokoh besar tamu “kenegaraan” Walikota seperti Aburizal Bakrie, Dahlan Iskan, Bondan Kuliner dan puluhan artis lainnya, namun setiap malam ratusan pengunjung selalu datang ke tempat tongkrongan baru di pojok barat Alun-Alun Batu ini menikmati ketan rasa bumbu kedelai, kicir, keju, ketan item dengan minuman hangat seperti bandrek, STMJ dan lainnya.
            “Alhamdulilaaah, kami sudah siapkan 200 kursi plus karpet, tapi masih kurang juga. Apalagi kalau malam Minggu atau high season dan cuaca cerah. Mahasiswa dan kawula muda dari Malang naik dan nongkrong di sini mulai sore, bisa sampai subuh. Tapi kami membatasi  tidak menjual maupun mengijinkan tamu untuk minum-minuman beralkohol. PKL harus menjadi tempat tongkrongan yang nyaman bagi semua orang”, papar Sugeng Hadi, pemilik PKL 1967 ini didampingi Irma, neng geulis yang telah memberikan 3 putri untuknya.
             “Ada story-nya… Dulu ibu Ayumi, ibu kami pertama kali jualan ketan di emperan toko Sidodadi tahun 1967an. Saat itu pasarnya masih di Alun-Alun Batu ini. Terus pindah ke Kantor Pos & Giro / Telkom yang sekarang jadi halaman mesjid An Nur. Itu yang kemudian mengilhami kami untuk menamakan warung kami jadi POS KETAN, bermula dari Ketan Pos”, tukas lulusan D3 Akutansi – UNIBRAW yang menempati Area Sales Manager Jawa Barat sebuah perusahaan rokok nasional ini. “Karena terlalu banyak yang pakai brand warung kami, maka atas saran sahabat kecil sekaligus ‘penolong’ kami saat kami terpuruk pada tahun 2001-2004, Mas Eko Suparisno, kami pakai tambahan nama LEGENDA 1967.  Ini juga karena kami ingin mengenang ibu kami yang luar biasa. Yang telah menghantar putra/inya sampai sarjana hanya dengan jualan ketan”, kenang pengagum Pak Harto ini.
            Perjalanan hidup berkarir dan berumah tangga Sugeng Hadi dan Irma sangat berliku. “Kami pernah sangat terpuruk…bahkan rumah tangga kami sudah di ambang kehancuran. Saya sempat pulang ke Garut. Tapi alhamdulilaaaah, karena kesetiaan dan kesabaran Mas Sugeng serta dorongan teman-teman SMPK Mas Sugeng, terutama Mas Eko, mBak Nien, Mas Adib dan lainnya. POS KETAN LEGENDA ini telah melengketkan kembali kasih sayang kami…..dan aku tidak akan meninggalkan Batu sampai seumur hidupku”, ungkap Irma tersipu-sipu.
            “Saat saya klimpungan dan nyaris kehilangan segalanya, Mas Eko memecut saya dengan gayanya. Bahkan saat orang berpikir saya sudah gila dan bisa saja melakukan hal konyol, dia membesarkan hati saya dan mengajak saya lebih mendekatkan diri kepada Sing Ngatur Urip. Saat itu rasanya saya tidak punya siapa-siapa lagi,”kenang pria yang suka menggambar dan menulis ini dengan mata berkaca-kaca, “Ketika rumah tangga dan ekononomi kami dipulihkan, bahkan dibarokahi, kami tidak perlu dendam kepada siapapun yang pernah melecehkan kami saat kami terpuruk”, tambah ayah Weny Denti Rahmawati, Dwi Sukmawati dan Trisa Wahyuni Putri ini.
            Sugeng Hadi telah membuktikan ajaran yang ada dalam keyakinan yang dianutnya, terutama dalam beramal dan bersyukur. “Luar biasa berkah dari Allah kepada kami kalau kami melakukan perintahNya, termasuk berzakat 2,5%. Bukan berarti jika diberkahi lebih, lantas menghambur-hamburkannya untuk hal yang tidak berguna. Kami harus hidup ekonomis namun tetap berbagi”, tukas Sugeng yang sudah memperkerjakan 15 tenaga dengan produk ketan 60kg per malam dan tembus 1 kuintal saat ramai.
            “Saya tidak setuju kalau IT disalahkan sepenuhnya jika terjadi perubahan perilaku kehidupan anak muda saat ini. Karena kami sendiri justru mengambil sisi positifnya. Saya tidak selalu bisa ikut pengajian dan sejenisnya, tapi tiap hari saya tetap bisa mengakses ayat-ayat suci dan kata-kata berhikmah dari HP saya. Bahkan saya mengenalkan PKL 1967 inipun via internet juga”, tukas Sugeng saat SP menanyakan pengaruh IT terhadap kehidupan bebas remaja/ kaum muda yang makin marak.
            “Yang penting adalah doa, kepercayaan dan kontrol  dari orangtua. Tidak mudah menghadapi anak-anak kita saat ini. Saat ditekan malah akan njiat. Dari segi ekonomis dan bisnis, mungkin saya senang kalau PKL ini rame. Tapi sering saya juga prihatin melihat tamu – tamu remaja putri yang  nongkrong sampai subuh dengan rokok dan sikap yang kurang santun”, imbuh nenek satu cucu yang tetap cantik dan menarik ini mengakhiri perbincangan kami yang tanpa terasa sudah hampir subuh. (nien/es)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar