POS KETAN LEGENDA
LENGKETKAN
KASIH SAYANG…..
Keberadaan POS KETAN LEGENDA - PKL
1967 sudah sangat familiar bagi Wong mBatu dan sekitarnya, baik yang masih
berdomisili di Kota Wisata Batu, maupun yang sudah muar meninggalkan kota kelahirannya. Tak kurang dari Kris Dayanti, Yuni Shara dan
banyak tokoh Batu lainnya yang selalu menyempatkan diri datang ke Pos Ketan
yang selalu inovatif menyajikan menu-menu barunya saat mereka mudik. PKL 1967 saat ini tidak saja dikenal oleh oleh
tokoh-tokoh besar tamu “kenegaraan” Walikota seperti Aburizal Bakrie, Dahlan
Iskan, Bondan Kuliner dan puluhan artis lainnya, namun setiap malam ratusan
pengunjung selalu datang ke tempat tongkrongan baru di pojok barat Alun-Alun
Batu ini menikmati ketan rasa bumbu kedelai, kicir, keju, ketan item dengan
minuman hangat seperti bandrek, STMJ dan lainnya.
“Alhamdulilaaah,
kami sudah siapkan 200 kursi plus karpet, tapi masih kurang juga. Apalagi kalau
malam Minggu atau high season dan
cuaca cerah. Mahasiswa dan kawula muda dari Malang naik dan nongkrong di sini
mulai sore, bisa sampai subuh. Tapi kami membatasi tidak menjual maupun mengijinkan tamu untuk
minum-minuman beralkohol. PKL harus menjadi tempat tongkrongan yang nyaman bagi
semua orang”, papar Sugeng Hadi, pemilik PKL 1967 ini didampingi Irma, neng geulis yang telah memberikan 3
putri untuknya.
“Ada story-nya…
Dulu ibu Ayumi, ibu kami pertama kali jualan ketan di emperan toko Sidodadi
tahun 1967an. Saat itu pasarnya masih di Alun-Alun Batu ini. Terus pindah ke Kantor
Pos & Giro / Telkom yang sekarang jadi halaman mesjid An Nur. Itu yang
kemudian mengilhami kami untuk menamakan warung kami jadi POS KETAN, bermula
dari Ketan Pos”, tukas lulusan D3 Akutansi – UNIBRAW yang menempati Area Sales
Manager Jawa Barat sebuah perusahaan rokok nasional ini. “Karena terlalu banyak
yang pakai brand warung kami, maka
atas saran sahabat kecil sekaligus ‘penolong’ kami saat kami terpuruk pada
tahun 2001-2004, Mas Eko Suparisno, kami pakai tambahan nama LEGENDA 1967. Ini juga karena kami ingin mengenang ibu kami
yang luar biasa. Yang telah menghantar putra/inya sampai sarjana hanya dengan
jualan ketan”, kenang pengagum Pak Harto ini.
Perjalanan
hidup berkarir dan berumah tangga Sugeng Hadi dan Irma sangat berliku. “Kami
pernah sangat terpuruk…bahkan rumah tangga kami sudah di ambang kehancuran.
Saya sempat pulang ke Garut. Tapi alhamdulilaaaah, karena kesetiaan dan
kesabaran Mas Sugeng serta dorongan teman-teman SMPK Mas Sugeng, terutama Mas
Eko, mBak Nien, Mas Adib dan lainnya. POS KETAN LEGENDA ini telah melengketkan
kembali kasih sayang kami…..dan aku tidak akan meninggalkan Batu sampai seumur
hidupku”, ungkap Irma tersipu-sipu.
“Saat
saya klimpungan dan nyaris kehilangan segalanya, Mas Eko memecut saya dengan
gayanya. Bahkan saat orang berpikir saya sudah gila dan bisa saja melakukan hal
konyol, dia membesarkan hati saya dan mengajak saya lebih mendekatkan diri
kepada Sing Ngatur Urip. Saat itu rasanya saya tidak punya siapa-siapa
lagi,”kenang pria yang suka menggambar dan menulis ini dengan mata
berkaca-kaca, “Ketika rumah tangga dan ekononomi kami dipulihkan, bahkan
dibarokahi, kami tidak perlu dendam kepada siapapun yang pernah melecehkan kami
saat kami terpuruk”, tambah ayah Weny Denti Rahmawati, Dwi Sukmawati dan Trisa
Wahyuni Putri ini.
Sugeng
Hadi telah membuktikan ajaran yang ada dalam keyakinan yang dianutnya, terutama
dalam beramal dan bersyukur. “Luar biasa berkah dari Allah kepada kami kalau
kami melakukan perintahNya, termasuk berzakat 2,5%. Bukan berarti jika diberkahi
lebih, lantas menghambur-hamburkannya untuk hal yang tidak berguna. Kami harus
hidup ekonomis namun tetap berbagi”, tukas Sugeng yang sudah memperkerjakan 15
tenaga dengan produk ketan 60kg per malam dan tembus 1 kuintal saat ramai.
“Saya
tidak setuju kalau IT disalahkan sepenuhnya jika terjadi perubahan perilaku
kehidupan anak muda saat ini. Karena kami sendiri justru mengambil sisi
positifnya. Saya tidak selalu bisa ikut pengajian dan sejenisnya, tapi tiap
hari saya tetap bisa mengakses ayat-ayat suci dan kata-kata berhikmah dari HP
saya. Bahkan saya mengenalkan PKL 1967 inipun via internet juga”, tukas Sugeng
saat SP menanyakan pengaruh IT terhadap kehidupan bebas remaja/ kaum muda yang
makin marak.
“Yang
penting adalah doa, kepercayaan dan kontrol
dari orangtua. Tidak mudah menghadapi anak-anak kita saat ini. Saat
ditekan malah akan njiat. Dari segi ekonomis dan bisnis, mungkin saya senang
kalau PKL ini rame. Tapi sering saya juga prihatin melihat tamu – tamu remaja
putri yang nongkrong sampai subuh dengan
rokok dan sikap yang kurang santun”, imbuh nenek satu cucu yang tetap cantik
dan menarik ini mengakhiri perbincangan kami yang tanpa terasa sudah hampir
subuh. (nien/es)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar