Jumat, 15 November 2013

Rahmat Shigeru Ono, Tentara Jepang Terakhir di Indonesia

Rahmad Sigeru Ono


Ketika Jepang resmi menyerah pada sekutu dalam Perang Dunia II tahun 1945, ada 324 tentara Nippon yang memilih tetap tinggal di Indonesia. Dari jumlah itu, kini hanya tersisa satu orang saja. Namanya Shigeru Ono.

 
ADA raut kebahagiaan yang luar biasa dari air muka Shigeru Ono (95) ketika Konsul Jenderal (Konjen) Jepang di Surabaya, Noboru Nomura beserta rombongan berkunjung ke kediamannya di Jl Cemara Kipas 74, Kota Batu, beberapa waktu lalu. Kebahagiaannya semakin membuncah ketika mengetahui Ketua Yayasan Warga Persahabatan (YWP),  Heru Santoso beserta rombongan YWP Jakarta dan Surabaya spesial datang ke Kota Apel hanya untuk sowan ke rumahnya.

Untuk diketahui, YWP merupakan organisasi yang mengayomi warga keturunan Jepang di Indonesia. Sedangkan yang hadir dalam pertemuan santai kemarin itu adalah generasi kedua dari keturunan tentara Jepang. Sehingga tak mengherankan, ketika mereka semua berkumpul, suasana hangat penuh keakraban begitu terasa kental. Sayup-sayup sering pula terdengar guyonan yang saling mereka lontarkan dalam Bahasa Jepang.

Oleh-oleh istimewa berupa minuman sake, sekotak rumput laut kering atau nori, kipas hias, dan sumpit dari Nomura mampu membuat Ono tertawa lepas meski dia tak lagi bisa menatap jelas benda-benda di sekitarnya. “Arigatou gozaimasu, saya sangat senang sekali. Meski kondisi saya seperti ini, masih banyak yang peduli,” tutur pria kelahiran Hokaido, 26 September 1918 ini terpatah-patah mengawali perbincangan santai siang itu.

Kepada seluruh tamu, pria yang juga dikenal dengan nama Sakari Ono ini mengurai kisah hidupnya mulai saat menjadi tentara Jepang hingga saat menikmati masa tua sekarang. Secara kasat mata, tubuh Ono memang tak lagi setegap ketika masih menjadi tentara. Sejak tahun 2005, tongkat setinggi pinggangnya menjadi kawan setia langkahnya. Kedua matanya juga tak lagi bisa melihat semenjak tiga tahun silam.

Sementara, lengan kirinya memang sudah diamputasi sejak lama karena terluka saat agresi Militer Belanda II. Kendati demikian, lantas tidak membuat Ono berdiam diri. Meski tubuhnya melemah dimakan usia, spirit kerja keras, sifat humoris, dan ideologi kejujuran yang dia pegang teguh tak pernah lekang oleh usia. “Waktu tiba di Indonesia saya masih perjaka ting-ting lho. Tapi bukan untuk cari jodoh tujuan saya tetap menetap di Indonesia. Saya murni ingin membantu Indonesia dalam merebut kemerdekaannya,” ucap pria yang mendapat gelar kehormatan Bintang Gerilja dari Presiden Soekarno tahun 1958 ini.

Pada awal kedatangannya di Wlingi, Blitar, bersama ratusan kawannya, Ono menampik bahwa tujuan tentara Jepang ke Indonesia adalah untuk menjajah. Hal itu, berbanding berbalik dengan fakta sejarah yang diuraikan dalam buku sejarah di sekolah. Sejatinya, pada tahun 1942, dia ditugaskan di Jabar dan Jatim untuk melatih militer pasukan Pembela Tanah Air (PETA). Sebab, perjuangan rakyat Indonesia kala itu belum berjalan efisien karena strategi dan persenjataan militernya minim. Selain itu, hubungan Ono dengan semua warga Indonesia yang dia latih diterima dengan tangan terbuka dan kedatangannya selalu di-support oleh warga sekitar. Hubungan tersebut membuktikan bahwa tentara Jepang tidak sekejam seperti apa yang dituliskan dalam buku sejarah.

Namun, saat terjadi peristiwa peledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, kondisinya mulai mencekam. Saat itu, Jepang secara resmi menyerah dengan tentara sekutu. Alhasil, sebanyak 903 yang berada di Indonesia mengalami pergolakan tajam. Beberapa ada yang dibunuh dan melakukan bunuh diri (harakiri). Tapi, ada pula yang bisa kembali ke Jepang dengan selamat. “Saya sendiri memilih untuk tetap di Indonesia. Sebab, hal ini berkaitan dengan janji dan komitmen. Sejak semula para tentara berjanji pada kaisar Jepang untuk membantu memerdekakan Indonesia,” ujarnya lirih.

Untuk melaksanakan niat tulusnya itu, Ono bersama 324 tentara Jepang bergabung bersama tentara Indonesia. Mereka masuk dalam anggota Pasukan Gerilja Istimewa (PGI) dan berjuang bersama dalam mencapai cita-cita Indonesia Merdeka. Ono juga mantap menjadi Warga Negara Indonesia dan merubah namanya menjadi Rahmat. Bahkan, supaya keluarga di Jepang tidak mencarinya, dia mengirimkan potongan rambut dan kukunya sebagai simbol supaya keluarganya mengira dia sudah gugur dalam peperangan.

Di Batu, Ono atau Rahmat memilih menjadi petani apel. Hanya saja pekerjaan yang digelutinya sejak puluhan tahun lalu itu terhenti tiga tahun lalu, setelah Ono merasa tak kuat lagi menjadi petani.

Sekitar tahun 1950, dia menikah dengan wanita pribumi bernama Darkasi. Hingga sekarang mereka dikaruniai 9 anak, 13 cucu, dan 9 cicit. Namun, pada tahun 1982, Darkasi meninggal dunia. Patut  digarisbawahi Ono menjadi satu-satunya eks tentara Jepang yang masih hidup hingga sekarang setelah kematian Eji Miyahara atau Umar Hartono pada 16 Oktober 2013 silam.  Eji tinggal di Jakarta. “Saya beruntung memilih tetap di Indonesia. Tapi sayangnya saat ini banyak sekali korupsi yang dilakukan pejabat. Terus terang saya merasa jengkel, karena kemerdekaan tidak kami rebut dengan mudah. Tolong hargai kami para pejuang dengan melenyapkan budaya korupsi,” tandasnnya.(berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar